Aktivis Masyarakat Ikut Aksi Tolak Reklamasi Pantai Surabaya


Sifera, P. H.

Senin, 16 September 2024, 20:21 WIB

Surabaya – Aktivis Masyarakat Surabaya mengkampanyekan tolak reklamasi kepada Masyarakat Surabaya, Senin (16/9/2024). (foto: Taufik Monyong) Surabaya.

Aktivis Masyarakat Peduli Surabaya kembali melakukan aksi kampanye tolak Reklamasi dititik lokasi, Senin, (16/9/2024). Yakni di Kota Surabaya. Di gambar foto Risma Gushans, salah seorang mantan Menteri Sosial Republik Indonesia (Mensos RI) selain ikut membentangkan spanduk dan poster berbunyi “Tolak Reklamasi”, “Surabaya Butuh Walikota Pro Rakyat. Tolak Reklamasi!”, dan “Laut Surabaya Tidak Dijual!”.

Masyarakat juga membagi-bagikan foto gambar kepada masyarakat penonton foto di Taman Kota Surabaya, awalnya banyak Masyarakat Surabaya menyinggung atau menolak kampanye tolak reklamasi karena tidak mengerti maksud aksi itu.

Sambil membagikan foto gambar, aktivis itu menjelaskan bahwa aksi ini bentuk keprihatinan terhadap peduli sarana umum di Surabaya berupa reklamasi pesisir pantai Surabaya.

Reklamasi itu bisa merusak lingkungan dan juga berdampak pada pendapatan nelayan setempat, saat aksi terkonfimasi bahwa masih banyak warga yang tidak tahu adanya Penolakan di Surabaya berupa Reklamasi Pesisir Pantai Timur hingga Utara Surabaya.

Mereka pastinya juga tidak tahu apa akibat atau dampak buruk dari Reklamasi pantai itu,” kata Taufik Monyong , Aktivis Surabaya usai Aksi, karena itu Ia sepakat menandai dengan tanda panah untuk mengkampanyekan kepada masyarakat akan adanya rencana diduga berupa Reklamasi Surabaya.

Untuk reklamasi pesisir mulai Pantai Kenjeran hingga pantai Rungkut, yang akan digunakan untuk kawasan hiburan dan pemukiman rumah mewah, soal mengapa kami membagikan gambar tersebut.

Dulu sebelum ada reklamasi pantai, masyarakat pesisir pantai menggunakan mata pencaharian sebagai alat kerja dalam nelayan,” tegas Monyong. Aksi Aktivis Masyarakat Peduli Surabaya di Kota Surabaya, Senin (16/9/2024).

Dalam catatan Taufik, kondisi mangrove Surabaya cukup merisaukan. Ia mengklaim saat ini luasan mangrove Surabaya berkurang ribuan hektare dari semula ada 3.000 hektare. “Bahkan, saat ini saja mangrove Surabaya tengah menghadapi sedimentasi serius berupa lumpur dan pasir dari aliran sungai. Ini saja sudah akan mengurangi luasan hutan Mangrove Surabaya.

Apalagi jika reklamasi oleh pengembangan terjadi, semakin kompleks masalahnya,” tegasnya. Lebih jauh dikatakan ekosistem mangrove mempuyai arti penting bagi lingkungan dan juga perekonomian masyarakat nelayan.

Bagi lingkungan mangrove menahan laju abrasi air laut dan menahan banjir maupun ancaman tsunami, selain itu hutan mangrove menjadi habitat kehidupan biologi laut tempat berkembang biaknya aneka jenis ikan sebagai mata rantai makanan pada ekosistem mangrove. Sebagai perekonomian masyarakat pantai, beberapa jenis ikan, udang, dan kerang-kerangan menjadi komoditas yang menjadi penghidupan nalayan.

Jika mangrove hilang, maka nelayan akan dipaksa berlayar jauh ke tengah laut mencari ikan sebagai mata pencaharian keluarga, maka dari itu masyarakat pesisir pantai Surabaya menolak reklamasi pengembangan itu.

“Namun mereka butuh dukungan semua pihak yang Peduli Lingkungan dan Peduli Kehidupan Nelayan untuk menyuarakan aksi ini,” harap Monyong. Pemerintah tidak transparan, Aksi aktivis Surabaya itu mendukung salah seorang mantan Menteri Sosial Indonesia, Tri Risma Harini bersama Gus Hans bahwa kerap kali Pembangunan oleh Pemerintah Pusat atau Daerah dilakukan secara diam-diam.

Itu dilakukan untuk meminimalisir resistensi atau penolakan, “Saya pikir Pemkot, Pemprov Jatim dan anggota DPRD kota dan provinsi seharusnya juga menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Tranparansi dan akuntabilitas dalam perencanaan pembangunan mutlak wajib di ketahui Masyarakat,” kata Taufik Monyong. Dikatakannya bahwa pembangunan pulau reklamasi ini sangat menciderai kota Surabaya sebagai Kota Maritim.

Pasalnya banyak yang dirugikan karena pengembangan itu benar benar akan menghancurkan ekologi di pesisir Surabaya. “Saya meyakini pembangunan itu justru akan menurunkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Surabaya dari carbon trading, belum lagi pendapatan dari unsur nilai rekreasi per tahun,” duga Taufik yang Peduli Masyarakat Lingkungan Hidup.

(sif/red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *