
HM Denny Adi SE
Minggu, 01 Juni 2025 – 14:15 WIB

aliansiberita.web.id – Polemik ijazah Jokowi, “Publik akan mengira Pemerintah menormalisasi kebohongan…”.
Pernyataan resmi Bareskrim dipersoalkan, kasus dugaan ijazah palsu Jokowi diminta diteruskan.
Kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) sepertinya tak akan berakhir hanya karena Bareskrim Polri menyatakan bahwa ijazah yang diperoleh Jokowi usai kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) asli. Akhir Mei lalu, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) menuntut gelar perkara khusus untuk kasus tersebut.
TPUA tak percaya dengan pernyataan Bareskrim Polri, apalagi penghentian penyidikan dilakukan secara sepihak. Ada sejumlah orang dari pihak terlapor dan pelapor yang tidak dimintai keterangan oleh Bareskrim Polri, termasuk di antaranya ahli forensik digital Rismon Sianipar.
Rismon termasuk sosok yang paling vokal “menggugat” keaslian ijazah Jokowi, salah satu poin yang dipersoalkan ialah penggunaan jenis huruf Times New Roman dalam lembar pengesahan skripsi Jokowi. Pada 1985 atau saat Jokowi lulus, jenis huruf itu belum digunakan oleh percetakan.
Tak hanya itu, gelar perkara yang dilakukan Bareskrim saat mengumumkan keaslian ijazah Jokowi juga terkesan janggal. Selain fotokopi ijazah yang dipasang di sebuah layar besar tak ada ijazah asli Jokowi, bukti-bukti penunjang lainnya pun tak dihadirkan.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI) Ardi Suteja menilai wajar jika TPUA tak puas dengan kinerja Bareskrim dalam menyelidiki kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, dia pun menyarankan agar ada gelar perkara khusus dengan melibatkan lembaga independen yang tersertifikasi atau kampus yang memiliki pusat studi forensik digital.
“Seperti Universitas Indonesia (UI) atau Universitas Islam Indonesia (UII) itu punya kapasitas untuk melakukan uji digital forensik, kalau tidak melibatkan dua pihak Independen. Bareskrim akan berada dalam masalah serius, Publik akan mengira Pemerintah menormalisasi kebohongan. Nanti muncul anggapan jika uji forensik di Polri itu penuh rekayasa,” jelas Ardi kepada Media di Jakarta, belum lama ini.
Bareskrim Polri, kata Ardi harus siap dengan segala risiko yang muncul ketika gelar perkara khusus dijalankan dengan menggandeng tim independen. Jika ijazah Jokowi terbukti palsu, bukan tidak mungkin Bareskrim Polri ikut terseret proses hukum.
Tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan turun drastis, dampaknya akan meluas termasuk merembet ke kasus-kasus lain yang sudah divonis oleh Pengadilan. Di sisi lain sertifikat dari beberapa lembaga internasional semisal Interpol, FBI dan US Secret Service yang diperoleh Bareskrim bisa dicabut.
“Bahkan kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna dan membuat Jessica dipenjara itu bisa mentah dan kasus lain juga akan berpotensi digugat, Pengadilan akan sibuk sekali itu. Namun, saya masih berharap Bareskrim tidak seperti yang dituduhkan karena taruhannya besar jika mereka melakukan kesalahan dalam melakukan uji forensik, kredibilitas taruhannya,” imbuh Ardi.
Selain keaslian ijazah Jokowi, Rismon juga menuding kepolisian merekayasa video CCTV dalam kasus kematian Mirna Salihin pada 2016. Dalam kasus itu, Jessica Wongso sudah dihukum sebagai pelaku pembunuhan dengan racun sianida.
Setelah bebas, Jessica mengajukan peninjauan kembali terhadap kasusnya. Rismon menyebut Kapolri ketika itu, Tito Karnavian dan Kepala Puslabfor Bareskrim Polri Muhammad Nuh Al Azhar sebagai dalang rekayasa.
Dikenal akrab dengan Jokowi, Tito saat ini masih menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Secara khusus, Tito juga sempat menangani langsung kasus tudingan ijazah palsu Jokowi dalam buku Jokowi Undercover karya Bambang Tri Mulyono pada 2016.
Usai Bambang Tri ditangkap, Tito sempat mengumumkan isi buku Jokowi Undercover bermuatan kebohongan dan mengancam akan memproses hukum siapa pun yang menggandakan buku itu. Guru besar ilmu komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Profesor Masduki mengusulkan sejumlah upaya untuk menuntaskan polemik dugaan ijazah palsu Jokowi.
Pertama, pihak Polri meneruskan proses hukum ke pengadilan.
“Sehingga terbuka bagi Publik untuk mengetahui sesungguhnya ini memang palsu atau tidak, sebetulnya ini kita melihat Aparat Penegak Hukum itu. Publik tidak cukup bisa mempercayai mereka sepenuhnya untuk memproses ini semua,” jelas Masduki kepada Media, Sabtu (30/5).
Proses hukum di Pengadilan, kata Masduki akan menguras energi Publik. Upaya yang lebih sederhana ialah Jokowi dipersilakan menunjukkan ijazah jenjang S1 Fakultas Kehutanan UGM miliknya yang diklaim asli kepada Publik.
“Pak Jokowi menunjukkan saja ijazah asli, salah satunya kepada pihak yang menggugat ini. Kemudian di situ, silakan terjadi upaya untuk saling mengklarifikasi. Jadi, ada proses dialog. Selama ini, itu (dialog) tidak terjadi sehingga masalah ini jadi berlarut,” imbuh Masduki.
Menurut Masduki, energi Publik jangan hanya digiring untuk fokus pada kasus dugaan ijazah palsu Jokowi. Selain dugaan ijazah palsu, ia menyebut ada banyak kasus yang berkelindan dengan Jokowi.
Apalagi, Organized Crime dan Corruption Reporting Project (OCCRP) Jokowi dalam daftar tokoh dunia terkorup.
“Jadi, para Aktivis yang menggugat keaslian ijazah palsu ini juga sebisa mungkin mengkorelasikan kasus ijazah palsu ini dengan kasus- kasus lain terkait Pak Jokowi sehingga pada ujungnya ada peradilan politik terhadap Pak Jokowi,” tambah Masduki.
(08887886999)