
HM Denny Adi SE
Senin, 9 Juni 2025 – 03:04 WIB
aliansiberita.web.id – Korupsi polemik Dana Pokir DPRD,
salah satu ciri dari negara modern yang menganut Demokrasi adalah adanya Lembaga Perwakilan. Di Indonesia hal ini bisa terlihat melalui Lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat di tingkat Pusat.
Sedangkan di daerah, ada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Baik di Pusat maupun Daerah fungsi dari Lembaga Perwakilan ini, kurang lebih sama seperti fungsi pembentukan peraturan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran.
Satu hal unik yang membedakan antara Lembaga Perwakilan di Tingkat Pusat dan Daerah, adalah adanya Pokok Pikiran (Pokir) bagi DPRD. Istilah ini tidak terdapat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, melainkan baru digunakan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, Kota.
Di dalam Pasal 54 huruf a, PP 20/2018 memberikan kewenangan kepada Badan Anggaran untuk bisa memberikan saran dan pendapat berupa Pokok Pikiran kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan APBD sebelum rencana kerja Pemerintah ditetapkan. Istilah Pokir juga bisa ditemukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 yang memberikan mekanisme penelaahan Pokir dan menjelaskan dasar Pokir yakni reses atau Aspirasi Masyarakat, secara kasat mata tidak ada yang bermasalah dengan hak Pokir yang dimiliki oleh DPRD.
Namun jika kita melihat Pemberitaan yang ada mengenai penggunaan hak Pokir, praktiknya banyak dihinggapi dengan korupsi. Di Kota Malang misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil membongkar korupsi massal yang dilakukan oleh 41 anggota DPRD Kota Malang.
Terjadi permintaan ‘uang Pokir’ oleh Arief Wicaksono, Ketua DPRD Kota Malang sebesar Rp. 700.000.000,- untuk anggota-anggota DPRD Kota Malang demi kelancaran pembahasan Raperda APBD perubahan 2015.
Ada pula kasus korupsi yang melibatkan Ketua dan tiga Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Barat, menurut penuturan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat. Modus yang digunakan adalah memasukkan proyek melalui mekanisme Pokok Pikiran agar terlihat seolah-olah Aspirasi Masyarakat, kasus monumental yang melibatkan penggunaan hak Pokir DPRD adalah di DKI Jakarta pada tahun 2015.
Gubernur DKI Jakarta pada sat itu menemukan adanya anggaran siluman dalam bentuk Pokir dari tahun 2012 hingga 2015 yang mencapai Rp. 40 Triliun, Gubernur mempermasalahkan pengajuan Pokir di luar tahapan musyawarah perencanaan pembangunan sehingga patut dicurigai kebenaran Pokir tersebut. Apakah betul merupakan Aspirasi Rakyat atau ‘titipan’ belaka, kasus ini menciptakan keributan besar antara Gubernur dan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pengguliran hak angket hingga akhirnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak lagi mengakomodir anggaran Pokir sampai hari ini.
Kedudukan dan peran DPRD dalam menyusun dan menetapkan APBD mengalami pasang surut dalam sejarah ketata negaraan Indonesia, pada masa Orde Baru dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, tidak dijelaskan secara rinci batas kewenangan DPRD dalam menyusun APBD.
Pada masa ini, DPRD merupakan bagian dari Pemerintah Daerah dengan Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki kewenangan bersama-sama dengan Kepala Daerah untuk menentukan arah dan kebijakan umum APBD.
Sedangkan pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, DPRD hanya memiliki kewenangan untuk membahas arah dan kebijakan umum yang kini terwujud dalam dokumen Kebijakan Umum Anggaran setelah diajukan oleh Kepala Daerah. Sepintas kewenangan ini terlihat sama saja, namun bila kita melihat lagi konstruksi Pemerintahan Daerah pada era UU 22/1999 hal ini justru membuat celah terjadinya korupsi.
Dalam UU 22/1999, DPRD memiliki kedudukan sebagai Badan Legislatif Daerah. Pada masa ini Pemerintahan Daerah cenderung bernuansa Legislative heavy, di mana DPRD memiliki kekuasaan lebih dalam menentukan arah pembangunan daerah.
DPRD mempunyai hak untuk mencalonkan Kepala Daerah, memilih Kepala Daerah dan dapat memberhentikan Kepala Daerah. Dengan kewenangan ini, potensi terjadinya kolusi antara DPRD dengan Kepala Daerah sangat tinggi.
Pada masa Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU 23/2014, kedudukan DPRD beralih menjadi unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Pergeseran kedudukan ini dianggap perlu dilakukan karena kekuasaan Legislasi atau pembentukan Undang-Undang pada hakikatnya tidak pernah dilimpahkan ke daerah, kekuasaan Legislasi adalah mutlak milik badan Legislatif di Tingkat Pusat.
Pendapat senada diutarakan oleh Bagir Manan yang menilai bahwa Peraturan Daerah sebagai produk hukum DPRD dan Kepala Daerah, merupakan rumpun administratiefrechtelijke dan bukan staatrechtelijke sebagai konsekuensi dari bentuk Negara Kesatuan yang dianut Indonesia. Sehingga, Pemerintahan Daerah dalam kerangka Otonomi Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan administrasi Negara dan tidak menghapus Hubungan Pusat dan Daerah.
Baru Pokir secara spesifik diberikan melalui Permendagri 20/2018, hak Pokir termaktub dalam Pasal 54 huruf a yang memberikan kewenangan kepada badan anggaran untuk memberikan saran dan pendapat berupa Pokok Pikiran DPRD kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan APBD sebelum peraturan Kepala Daerah tentang rencana kerja Pemerintah Daerah ditetapkan. Pokir kembali ditegaskan dalam Permendagri 86/2017, yang menjelaskan bahwa rancangan awal Rencana Kerja Perangkat Daerah mecakup salah satunya adalah penelaahan Pokok-pokok Pikiran DPRD.
Pasca DPR RI Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/PUU-IX/2013 tidak lagi diberikan wewenang untuk menyetujui APBN yang terperinci dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan sampai jenis belanja melainkan hanya unit organisasi, fungsi dan program. Hal ini telah dimuat dalam Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) yang baru Nomor 17 Tahun 2014.
Pertimbangannya Majelis Hakim MK menyatakan fungsi anggaran dari DPR RI tidak terlalu jauh ikut membuat perencanaan anggaran, akan tetapi hanya memberikan persetujuan atas rencana yang diajukan oleh Presiden. Hal ini dikarenakan adanya prinsip pembagian kekuasaan dan check and balance, yang mengakibatkan kewenangan DPR RI dibatasi dan ditegaskan pada fungsi pengawasan jalannya Pemerintahan.
Sedangkan fungsi perencanaan sudah merupakan fungsi eksekutif, yaitu merencanakan dan melaksanakan atau mengeksekusi jalannya Pemerintahan. Menurut Majelis Hakim MK, pembahasan terperinci sampai satuan tiga yang memuat kegiatan dan jenis belanja Kementerian atau Lembaga dapat menimbulkan persoalan Konstitusional DPR RI dalam menjalankan fungsi anggaran.
Disebut persoalan berasal dari keikut sertaan DPR RI dalam membahas rancangan APBN yang terperinci sampai pada kegiatan dan jenis belanja, hal ini tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPR RI sebagai Lembaga Perwakilan yang seharusnya tidak ikut menentukan perencanaan yang sifatnya sangat rinci tersebut. Kegiatan dan jenis belanja merupakan urusan penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang dilaksanakan oleh Presiden sebagai perencana dan eksekutor APBN, kembalinya mekanisme penganggaran DPRD hingga bisa membahas satuan tiga atau mata anggaran seperti hari ini disebabkan karena tidak adanya keinginan politik untuk mempertahankan nilai tersebut.
DPR RI dan Pemerintah Pusat telah merespons putusan MK 35/PUU-IX/2013 terhadap UU MD3 yang lama, yang pada akhirnya melahirkan UU MD3 yang baru Nomor 17 Tahun 2014. Namun terhadap SE Mendagri yang mengatur mekanisme penganggaran daerah, tidak.
Setelah UU MD3 yang lama dinyatakan tidak lagi berlaku, tidak ada tindak lanjut terhadap SE Mendagri yang menyebabkan SE tersebut juga tidak lagi berlaku. DPR RI dan Pemerintah Pusat juga tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan nilai tersebut semasa pembahasan UU Pemerintahan Daerah 23/2014, kekuasaan DPRD dibiarkan luas begitu saja dan menjadi celah untuk terjadinya korupsi.
Untuk kewenangan membahas satuan tiga, memberikan legitimasi kepada keberadaan Pokir, Pokir dianggap merupakan wujud konkrit dari aspirasi warga karena DPRD berhak untuk mengusulkan penambahan kegiatan di APBD. Lagi-lagi sebetulnya ide ini pernah diuji materi di MK dalam putusan Nomor 106/PUU-XIII/2015, tepatnya pada Pasal 80 huruf j UU MD3 yang memberi kewenangan bagi anggota DPR RI untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Putusan Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 80 huruf J UU MD3 konstitusional namun dalam pertimbangan Majelis Hakim menjelaskan bahwa batasan pengawalan aspirasi, aduan dan masalah yang dilakukan oleh DPR RI maupun DPRD yakni diserahkan kepada Lembaga Eksekutif baik di Tingkat Pusat maupun Daerah untuk dilaksanakan, bukan dengan langsung memasukkan aspirasi tersebut masuk ke dalam anggaran. Proses penyerahan aspirasi dari DPRD kepada Pemerintah Daerah perlu dilakukan, agar Kepala Daerah bisa menyesuaikan usulan tersebut dengan rencana pembangunan yang telah dibuatnya.
Apabila tidak maka kasus ribut-ribut anggaran seperti yang pernah terjadi di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta akan kembali terulang, di mana DPRD Provinsi DKI Jakarta menganggarkan pembelian Uninteruptable Power Supply melalui mekanisme Pokir yang tidak sesuai dengan rencana kerja Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Dugaan kerugian Negara dalam kasus ini mencapai Rp. 130 Miliar, menyerap aspirasi sudah merupakan tugas mutlak sebuah Lembaga Perwakilan namun untuk bisa memasukkan kegiatan secara spesifik ke dalam dokumen anggaran, merupakan kekuasaan yang berbeda dan tidak bisa disematkan kepada Lembaga rumpun Legislatif. Sebetulnya hal ini mudah dipahami melalui logika pertanggung jawaban APBD secara sederhana, setiap tahunnya Kepala Daerah harus mempertanggung jawabkan pelaksanaan APBD melalui dokumen Pertanggung jawaban Penggunaan APBD.
Akan janggal rasanya, jika Kepala Daerah juga harus dituntut mepertanggung jawabkan kegiatan yang bukan usulannya. Apabila di kemudian hari ditemukan ada masalah terkait kegiatan yang diusulkan melalui Pokir, maka Kepala Daerah bisa ikut terseret.
APBD seharusnya menjadi cerminan utuh dan khusus dari visi dan misi Kepala Daerah, dengan terus memperhatikan masukan dari DPRD sebagai perpanjangan Suara Rakyat. Ketidak seragaman praktik Lembaga Perwakilan Tingkat Pusat dan Daerah merupakan akibat dari bentuk yang dipilih dalam menjalankan Otonomi Daerah, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya DPRD pernah menjadi Badan Legislatif Daerah sebelum kemudian menjadi unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Perubahan dan eksperimen yang dilakukan dalam mencari format terbaik Otonomi Daerah ini, menyebabkan hak Pokir yang dimiliki oleh DPRD menjadi sebuah paradoks. Di satu sisi Pokir legal karena DPRD merupakan bagian dari penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, karenanya bisa ikut membahas satuan tiga APBD.
Disisi lain tafsir MK pada praktik yang sama untuk DPR RI berkata lain, karena tidak sesuai dengan semangat pemisahan kekuasaan. Di satu sisi, kita menyadari bahwa Lembaga Perwakilan tidak bisa ikut membahas satuan tiga anggaran karena merupakan kewenangan Eksekutif.
Namun di sisi lain juga, Lembaga Perwakilan tidak bisa serta merta menerima suatu kegiatan hanya karena program yang diajukan terlihat baik. DPRD sering kali juga membutuhkan satuan tiga untuk menilai program yang diajukan.
(08887886999)