
Sumitro
Rabu, 10 Oktober 2024,
21:22 WIB

Surabaya – Ketua Umum LSM Pahlawan, H. M. Denny Adi, S. E. sekaligus mengamati Politik Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia), fenomena calon tunggal dan Kotak Kosong semakin marak terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.
Munculnya Kotak Kosong ini menimbulkan kekhawatiran terkait partisipasi Pemilih dan Kualitas Demokrasi pada berbagai wilayah di Indonesia, fenomena ini banyak menarik perhatian Publik, termasuk Pejabat Publik LSM Pahlawan, Denny sekaligus Pembina Mental Spiritual Media Aliansi Berita menurutnya,
“Fenomena Kotak Kosong bukanlah indikasi dari krisis demokrasi, melainkan lebih kepada masalah teknis terkait penjadwalan Pemilu yang kurang ideal. Fenomena Kotak Kosong itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan krisis demokrasi, melainkan hanya soal pengaturan jadwal antara Pemilu Nasional dengan Pilkada yang terlalu dekat,” kata Denny.

Denny menekankan pentingnya prinsip timely manner dalam penyelenggaraan Pemilu, dalam prinsip Pemilu ini Pemerintah harus merancang untuk memungkinkan Partisipasi Maksimal dari Masyarakat. Sayangnya menurut Denny,
“Ambisi untuk melaksanakan Pilkada serentak di Tahun ini belum disertai dengan pertimbangan waktu yang matang, dengan menyerentakkan antara Pemilu Nasional dengan Pilkada, Partai Politik dan Calon-calon Pemimpin di Daerah tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi,” tegasnya.
Dan dampak ke Partisipasi Pemilih
fenomena Kotak Kosong, lanjut Denny “Memiliki dampak signifikan terhadap Partisipasi Pemilih, Ia juga menyoroti asumsi yang berkembang di Masyarakat bahwa calon tunggal otomatis akan menang. Menurutnya hal ini akan semakin menurunkan semangat Masyarakat untuk ikut serta dalam proses Demokrasi tersebut”.
“Juga hanya ada satu kandidat yang bekerja keras menghadirkan Pemilih ke TPS, sementara itu Kotak Kosong tidak memiliki Tim Sukses. Sehingga membuat orang menjadi enggan atau malas datang ke TPS,” imbuh Denny.
Diketahui menurut Denny, “Apabila Kotak Kosong menang dalam Pilkada, dampaknya pun akan besar bagi Masyarakat setempat. Pasalnya akan ada Pejabat dari Pemerintah Pusat yang tidak Masyarakat pilih untuk mengisi Kepemimpinan di Daerah. Pejabat tersebut bisa berasal dari berbagai kalangan yang tidak dipilih secara Demokratis oleh Rakyat, termasuk Birokrat, Kementerian atau bahkan Kepolisian,” jelasnya.
Kritik dan saran Denny menerangkan, “Bahwa Kotak Kosong tidak bisa Pemerintah anggap sebuah bentuk protes Politik dari Masyarakat, menurutnya masalah ini timbul karena kesalahan asumsi dalam pembentukan Undang-Undang Pemilu. Pembuat Undang-Undang mengasumsikan bahwa semakin serentak Pemilu berlangsung semakin baik, namun yang sebenarnya diperlukan adalah pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah,” jelasnya.
Serta sebagai Kontrol Sosial Politik, Denny menyarankan bahwa perlu ada pengaturan kembali pada regulasi terkait pelaksanaan Pemilu.
“Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah sebaiknya tidak berlangsung bersamaan, jika Pemilu Nasional misalnya dilakukan pada tahun 2024 maka Pemilu Daerah idealnya dilaksanakan dua tahun setelahnya,” ungkapnya.
Pemisahan jadwal ini, Denny berharap Partai Politik dan Calon Pemimpin Daerah dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik. Dengan begitu Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu dapat meningkat dan fenomena Calon tunggal dan Kotak Kosong akan berkurang.
Penulis: Humas Aliansi Berita
Editor: Agus Ahmad Faried