
DR Lindawati
Senin, 19 Mei 2025 – 05:06 WIB

aliansiberita.web.id – Pendeta jadi mualaf, begini cerita Yahya Waloni masuk Islam. Sebagai pakar teologi, Pendeta Yahya Yopie Waloni sangat mengetahui teori-teori yang ada dalam agama Islam.
Meskipun masih beragama Kristen, Yahya memandang teori apa pun yang ada di Islam sangat benar. Islam pun, mampu menceritakan peradaban dunia dari yang lalu sampai sekarang.
Bahkan, agama Kristen diceritakan pula dalam Islam. Namun, menurut pria kelahiran Manado tahun 1970 ini yang paling membuatnya tunduk patuh hingga memutuskan untuk masuk Islam pada Oktober 2006 adalah Islam menunjuk satu individu yang sangat tepat untuk menyebarkan ajarannya.
“Satu individu yang membuat saya tunduk dan patuh, dia buta huruf tapi bisa menyusun Alquran secara sistematis,” jelas pria yang mengganti namanya menjadi M. Yahya Waloni setelah memeluk agama Islam itu.
Bahwa menurut suami dari Lusiana (33) yang mengganti namanya menjadi Mutmainnah setelah memeluk Islam itu, dirinya masuk agama Islam karena dari sistematika teori Islam sudah benar. Sebagai akademisi kata dia, dirinya pun berpikir orang yang sudah memilih teori benar saja bisa salah apalagi yang tidak memiliki teori yang benar.
“Orang Islam yang sudah memiliki teori yang benar saja bisa salah apalagi yang tidak memiliki teori benar, jadi saya mengakui Islam secara teori dan Spiritual,” imbuh Yahya.
Yahya tertarik untuk masuk Islam kata dia, sebenarnya sudah ada sejak kecil saat berumur sekitar 14 tahun. Pada usia itu, dirinya sudah ke Masjd karena tertarik melihat banyak orang Islam menggunakan pakaian seperti yang digambarkan di agamanya yaitu baju ikhram.
“Dirinya pun sangat tertarik dengan gendang yang suka dimainkan di Masjid-masjid, saya hanya berani ke Masjid satu kali saja karena ketahuan dan dipukul sampai babak belur oleh Bapak saya. Kalau nekad ke Masjid lagi, saya takut Bapak saya yang seorang Tentara akan menggantung saya,” tambah pria yang memiliki hobi bermain gendang ini.
Sambung pria yang pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004 ini, dari sekian kejadian yang mendorongnya untuk memeluk Islam adalah pengalaman Spiritual yang dialaminya. Suatu hari saya bertemu dengan seorang penjual ikan di rumah lama kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli ia memulai kisahnya.
“Dengan pertemuannya si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut dengan waktu pertemuan yang sama yaitu pukul 09.45 Wita, kepada saya si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo, ia baik sekali dengan saya,”
kata bapak dari Silvana (8 tahun kini bernama Nur Hidayah), Sarah (7 tahun menjadi Siti Sarah) dan Zakaria (4 tahun) ini.
Bertemu Setiap kali dengan si penjual ikan itu kata Yahya, dirinya berdialog panjang soal Islam. Anehnya kata dia, si penjual ikan yang mengaku tidak lulus Sekolah Dasar (SD) itu sangat mahir dalam menceritakan soal Islam.
Ia makin tertarik pada Islam, namun sejak saat itu ia tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, Desa Sandana salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli).
“Saat saya datangi kampungnya, tidak ada satupun warganya yang menjual ikan dengan bersepeda,” imbuhnya.
Pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam.
“Karena dipengaruhi oleh Pendeta dan saudara-saudaranya, ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. Jadi, kita memutuskan untuk bercerai,” tambahnya.
Sambung dia, tidak lama setelah itu. Tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriyah atau tanggal 10 Oktober sekitar Pukul 23.00 Wita, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih duduk di atas kursi.
“Dia di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu, saya dialog dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatul kadar,” omong Yahya.
Yang pertama masuk perempun, tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua, tersengat api panas.
“Setelah sadar, seluruh badan saya mulai dari ujung kaki sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria, saya sudah minum obat tapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,” imbuhnya.
Diceritakan ke istrinya kata dia, istrinya semakin tidak percaya dan ingin bercerai dengan Yahya. Namun, beberapa jam kemudian istrinya menangis karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya sama dengan apa yang dimimpikan.
“Akhirnya istri saya yang mengajak segera masuk Islam,” tambahnya.
Kata Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 Pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa selaku Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah, Yahya dan istrinya mengucapkan dua kalimat Syahadat.
“Kekuatan saya, sekarang hanya shalat Tahajud malam dan Dhuha pukul 08.00,” papar mantan Rektor UKI Papua ini.
(08887886999)