
Posted By DR Lindawati
25 Apr 2025 – 10:11 WIB
aliansiberita.web.id – Kembalinya kasus polio di Indonesia, ketika hoaks mengalahkan vaksin. Setelah satu dekade dinyatakan bebas polio sejak 2014 oleh WHO, Indonesia kini kembali menghadapi peningkatan kasus polio sejak tahun 2022.
Ironisnya, lonjakan ini bukan karena mutasi virus atau kegagalan vaksin melainkan akibat penurunan cakupan imunisasi yang dipicu oleh misinformasi di Media Sosial. Terutama platform seperti TikTok, banyak orang tua khususnya ibu-ibu muda terpengaruh oleh narasi konspiratif yang menyatakan bahwa vaksin polio tidak diperlukan berbahaya bahkan dianggap sebagai bagian dari agenda tersembunyi.
Fenomena ini didorong oleh penyebaran informasi yang tidak akurat melalui Media Sosial, yang memperparah ketidakpercayaan terhadap para profesional kesehatan dan badan pemerintah yang mempromosikan imunisasi (Ghazali et al., 2022; Ittefaq et al., 2024). Pengaruh Media Sosial dan Standar “TikTok”, salah satu fenomena yang muncul adalah penyebaran narasi penolakan vaksinasi, terutama di kalangan ibu-ibu muda melalui platform seperti TikTok dan WhatsApp.
Banyak yang menolak memberikan vaksinasi polio kepada anak-anaknya karena khawatir anaknya demam setelah imunisasi atau karena mempercayai teori konspirasi yang mengaitkan vaksinasi dengan agenda elit global, beberapa orang bahkan beranggapan bahwa manusia zaman dahulu bisa hidup sehat tanpa vaksin sehingga vaksin dianggap tidak perlu dan tidak alami. Padahal perubahan lingkungan, pola makan dan paparan penyakit baru menjadikan vaksinasi sangat penting.
Penurunan cakupan imunisasi di Indonesia sangat terkait dengan penyebaran hoaks dan teori konspirasi di Media Sosial, beberapa akun TikTok dan WhatsApp menyebarkan narasi bahwa vaksin polio mengandung bahan haram atau dapat menyebabkan efek samping berbahaya seperti autisme (Kemenkes RI, 2023). Salah satu contoh adalah akun TikTok @itsmelialist23 yang viral karena menolak imunisasi anaknya setelah anaknya demam pasca-vaksinasi, narasi ini memengaruhi banyak orang tua terutama kelompok muda yang aktif di media sosial (Kamar Jeri, 2024).
Kasus kembali muncul di Aceh, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebangkitan kasus polio dimulai dari Aceh, di mana seorang anak berusia 7 tahun mengalami gejala lumpuh layu dan akhirnya dinyatakan positif polio tipe 2.
Investigasi lebih lanjut menunjukkan kondisi sanitasi yang buruk dan tidak adanya riwayat imunisasi lengkap sebagai faktor pemicu, di tahun 2023 kasus serupa kembali ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk anak-anak yang telah mendapatkan vaksin namun tidak secara lengkap atau mengalami malnutrisi menunjukkan bahwa imunisasi yang tidak optimal tetap membuka celah risiko infeksi (Kemenkes RI, 2023). Menurut Riris Andono Ahmad selaku epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, kebangkitan kasus ini tidak lepas dari dinamika sosial dan politik serta lemahnya edukasi pascapandemi COVID-19 yang membuat kampanye vaksin polio meredup (Lumbanrau, 2024).
Faktor penolakan agama dan ketidak tahuan, alasan lain yang banyak muncul adalah anggapan bahwa vaksin mengandung unsur babi sehingga dianggap haram. Meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa mubah (boleh karena alasan darurat), banyak orang tua tetap bersikukuh menolak dengan dalih kepercayaan pribadi dan menyerahkan sepenuhnya kepada “takdir” (MUI, 2021).
Sayangnya, penolakan ini tidak hanya berdampak pada anak mereka tetapi juga berpotensi merusak kekebalan kelompok (herd immunity) yang selama ini terbentuk berkat program imunisasi nasional. Konsekuensi nyata, kelumpuhan dan kematian.
Poliomyelitis (polio) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio yang menyerang sistem saraf pusat, menyebabkan kelumpuhan seumur hidup dan dalam beberapa kasus kematian (World Health Organization, 2022). Tidak ada obat untuk polio satu-satunya cara untuk mencegahnya adalah melalui imunisasi, kasus nyata seperti Paul Alexander satu dari sedikit manusia yang harus hidup dalam “paru-paru besi” menjadi pengingat betapa seriusnya ancaman ini (Alexander, 2023).
Kesimpulan butuh edukasi dan akses informasi yang benar, kembalinya polio di Indonesia seharusnya menjadi alarm keras bagi masyarakat dan pemerintah. Pendidikan tentang pentingnya vaksinasi harus digalakkan kembali, terutama melalui pendekatan komunitas dan tokoh agama yang dipercaya masyarakat.
Pemerintah juga perlu memperkuat narasi berbasis sains dan menggandeng Media Sosial untuk melawan penyebaran hoaks, menolak imunisasi bukan hanya membahayakan anak sendiri tapi juga masa depan generasi bangsa. Jangan sampai karena sebuah video viral, Indonesia kembali ke era penyakit yang seharusnya sudah menjadi sejarah.
Sumber informasi, Alexander P. (2023). Life in the Iron Lung, A Survivor’s Journey.
BBC News Archive,
Ghazali W. Mohamed, S., Wok, S., & Yusoh, M. (2022).
Vaccine communication and the media credibility in addressing vaccine hesitancy, a focus on malaysia.. https://doi.org/10.5772/intechopen.108353.
Ittefaq, M., Kamboh, S., Zelaya, C., & Arif, R. (2024). Polio vaccine misinformation on social media: challenges, efforts, and recommendations.
Journal of Science Communication, 23(01). https://doi.org/10.22323/2.23010401
Kamar Jeri. (2024).
Transkrip Video “Virus Polio Meningkat Akibat Standar TikTok”. https://www.youtube.com/watch?v=cxqWFYQSDlI
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023).
Situasi Terkini Kasus Polio di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi.
Lumbanrau, Raja Eben. 2024.
Tiga anak di Jateng dan Jatim lumpuh layu akibat polio, apa gejalanya dan bagaimana mengatasinya? BBC News Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI). (2021). Fatwa Mubah Imunisasi Mengandung Babi untuk Keadaan Darurat. Jakarta.
World Health Organization. (2022), Poliomyelitis. Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/poliomyelitis
The Return of Polio Cases in Indonesia: When Hoaxes Overcome Vaccines, Midwifery Department.
(08887886999)